Andi Ramang: Legenda Sepak Bola Indonesia dari Makassar

andi ramang

Nama Andi Ramang tercatat sebagai salah satu legenda terbesar dalam sejarah sepak bola Indonesia. Lahir di Barru, Sulawesi Selatan pada 24 April 1924, Ramang bukan hanya seorang penyerang tajam, tetapi juga ikon budaya olahraga tanah air. Ia dikenal luas pada era 1950-an hingga 1960-an, masa di mana Indonesia mulai membangun reputasi di panggung internasional. Kisah hidupnya penuh warna, mulai dari masa kecil yang sederhana, karier gemilang di PSM Makassar dan tim nasional Indonesia, hingga cobaan yang ia hadapi di penghujung hidupnya.


Masa Kecil dan Awal Karier

Sejak kecil, Andi Ramang sudah akrab dengan olahraga. Ayahnya, Nyo’lo, adalah seorang pengabdi di Kerajaan Gowa sekaligus jago bermain sepak takraw. Dari sang ayah, Ramang mewarisi ketangkasan kaki dan refleks luar biasa. Ia sering bermain bola menggunakan bola takraw, kain, bahkan buah jeruk. Kebiasaan inilah yang diyakini membentuk kemampuannya melakukan salto atau bicycle kick yang kelak menjadi ciri khasnya di lapangan.

Ramang mulai bergabung dengan klub lokal di Barru pada 1939, saat usianya masih remaja. Ia bermain hingga 1943 sebelum memutuskan menikah. Kehidupan awalnya tidak mudah; ia pernah bekerja sebagai pengayuh becak dan kernet truk untuk menghidupi keluarga. Namun, kecintaan pada sepak bola tidak pernah padam.


Karier Klub Bersama PSM Makassar

Titik balik datang pada 1947 ketika bakat Andi Ramang menarik perhatian PSM Makassar. Ia direkrut setelah tampil gemilang dalam sebuah turnamen di mana ia mencetak tujuh gol dalam satu pertandingan. Bersama PSM, Ramang menjadi mesin gol yang menakutkan. Dari catatan kariernya, ia tampil lebih dari 600 kali dengan torehan lebih dari 500 gol, sebuah rekor luar biasa di masanya.

Kehebatan Ramang membuat PSM Makassar berjaya di ajang Perserikatan. Klub asal Sulawesi Selatan itu berhasil meraih beberapa gelar berkat kontribusinya. Meski sempat berhenti sejenak akibat tuduhan suap pada 1960—tuduhan yang selalu ia bantah—Ramang kembali memperkuat PSM hingga akhirnya gantung sepatu pada akhir 1960-an.


Perjalanan di Tim Nasional

Puncak karier Andi Ramang terlihat jelas saat membela tim nasional Indonesia. Ia dipanggil pertama kali pada 1952 untuk mengikuti pemusatan latihan di Jakarta. Sejak saat itu, namanya selalu menjadi andalan lini depan Garuda.

Pada tur Asia Timur tahun 1953, Indonesia menghadapi berbagai tim kuat seperti Hong Kong, Korea Selatan, hingga Filipina. Dari 25 gol yang dicetak Indonesia, 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang. Ketajamannya membuat namanya harum di Asia.

Momen paling bersejarah hadir di Olimpiade Melbourne 1956. Indonesia yang saat itu masih dianggap negara baru berhasil menahan imbang Uni Soviet 0-0, tim yang menjadi juara Olimpiade. Ramang dengan nomor punggung 9 menjadi motor serangan. Meski pada laga ulangan Indonesia kalah 0-4, pertandingan pertama tetap dikenang sebagai salah satu pencapaian terbesar sepak bola Indonesia.

Selain itu, gol spektakulernya ke gawang China dalam kualifikasi Piala Dunia 1958 melalui tendangan salto menjadi legenda tersendiri. Aksi itu semakin mengukuhkan reputasi Ramang sebagai striker yang tak hanya tajam, tetapi juga atraktif.


Popularitas dan Julukan

Ketenaran Andi Ramang begitu besar hingga banyak orang tua menamai anaknya dengan nama Ramang pada era 1950-an. Gaya bermainnya yang penuh determinasi, kuat di udara, dan berani mengambil risiko membuat publik menjulukinya sebagai “Macan Bola.”

Sejumlah rekan setim juga menganggapnya sebagai pemain spesial. Harry Tjong, salah satu legenda Indonesia lainnya, pernah menyamakan Ramang dengan Diego Maradona karena sama-sama memiliki pengaruh besar terhadap permainan tim.


Akhir Karier dan Kehidupan Pribadi

Pada 1960, tuduhan menerima suap membuat Ramang dijatuhi sanksi larangan bermain. Meski ia membantah keras, keputusan tersebut sempat membuat kariernya terguncang. Dua tahun berselang, PSM kembali memanggilnya, dan ia membela klub kebanggaan Makassar hingga akhirnya pensiun pada usia 44 tahun.

Setelah gantung sepatu, Andi Ramang terjun ke dunia kepelatihan. Ia melatih PSM Makassar, PSBI Blitar, serta Persipal Palu. Namun, kehidupan di luar lapangan tidak semudah saat ia menjadi bintang. Pada 1981, ia terserang pneumonia setelah melatih di bawah hujan deras. Karena keterbatasan biaya, ia tidak sempat mendapatkan perawatan medis yang memadai. Selama enam tahun ia menderita sakit hingga akhirnya meninggal dunia pada 26 September 1987 di Ujung Pandang. Ia wafat pada usia 63 tahun, meninggalkan empat anak dan sepuluh cucu.


Warisan dan Penghargaan

Meski telah tiada, nama Andi Ramang tetap abadi dalam ingatan pecinta sepak bola Indonesia. Menteri Pemuda dan Olahraga, Andi Mallarangeng, pernah menyebut Ramang sebagai inspirasi bagi anak-anak Makassar yang mencintai sepak bola. Pada 2011, kisah hidupnya dibukukan oleh M. Dahlan Abu Bakar dengan judul Ramang, Macan Bola.

Bahkan, Federasi Sejarah dan Statistik Sepak Bola Internasional (IFFHS) memasukkan namanya ke dalam “Indonesia All Time Dream Team” pada 2022. Pengakuan ini menunjukkan betapa besarnya kontribusi Ramang bagi sepak bola nasional.


Kesimpulan

Kisah Andi Ramang bukan hanya tentang catatan gol atau gelar, melainkan juga tentang perjuangan seorang anak bangsa yang lahir dari kesederhanaan lalu menjelma menjadi legenda. Dari lapangan-lapangan di Barru hingga panggung Olimpiade Melbourne, Ramang telah menorehkan jejak yang sulit dilupakan.

Bagi masyarakat Sulawesi Selatan, ia adalah kebanggaan daerah. Bagi sepak bola Indonesia, ia adalah simbol semangat juang dan dedikasi tanpa pamrih. Hingga kini, cerita tentang Andi Ramang masih terus hidup, menjadi pengingat bahwa talenta besar bisa lahir dari mana saja, bahkan dari anak tukang becak yang bercita-cita sederhana.