skorsepakbola – Musim 2024/2025 Serie A menyisakan banyak cerita—tentang kejutan, drama, dan dominasi. Di antara semua kisah yang tercipta, Inter Milan mencatatkan musim yang, secara angka, bisa dianggap sukses. Mereka menutup musim dengan raihan poin tinggi, pertahanan solid, dan kemenangan atas banyak rival langsung. Namun, ironisnya, semua itu terasa hampa. Mengapa? Karena Inter Milan gagal meraih gelar, dan lebih pahitnya lagi, mereka menyaksikan rival berat mereka—Napoli—yang justru mengangkat trofi. Inilah kemenangan yang tak bisa dirayakan.
Performa Kuat Sepanjang Musim
Tak bisa dimungkiri, Inter Milan tampil luar biasa secara teknis. Di bawah pelatih Simone Inzaghi, mereka menunjukkan konsistensi yang jarang terlihat dalam beberapa musim terakhir. Lini tengah yang dikomandoi Nicolo Barella dan Hakan Çalhanoğlu tampil solid, sementara duet Lautaro Martinez dan Marcus Thuram menjadi mesin gol yang mematikan.
Statistik berbicara jelas:
- 80+ poin di klasemen akhir.
- Pertahanan terbaik Serie A, hanya kebobolan 27 gol.
- Lini serang tertajam kedua setelah Napoli.
- Memenangi dua dari tiga Derby della Madonnina musim ini melawan AC Milan.
Dengan catatan tersebut, banyak yang memprediksi Inter Milan akan menjadi juara. Tapi sepak bola bukan hanya soal angka, melainkan juga soal momentum, keberuntungan, dan ketajaman di saat yang paling menentukan.
Ketika Kemenangan Tidak Cukup
Inter Milan nyaris sempurna, namun kata “nyaris” itulah yang menjadi kata kunci. Mereka kalah di beberapa laga krusial yang menjadi titik balik perburuan gelar. Salah satunya adalah kekalahan menyakitkan dari Napoli di pekan ke-32. Pertandingan yang berakhir 2-1 itu bukan hanya kehilangan tiga poin—tetapi kehilangan kendali dalam perebutan Scudetto.
Yang lebih menyakitkan lagi, Napoli tampil sebagai tim yang lebih percaya diri, lebih lapar, dan lebih siap. Di momen ketika Inter Milan butuh ketenangan, mereka justru terlihat gugup. Beberapa kesalahan individu menghantui mereka di saat-saat penting. Kemenangan-kemenangan setelahnya terasa hanya sebagai penutup luka, bukan perayaan.
Masalah di Luar Lapangan: Bayang-Bayang Finansial
Kesulitan Inter Milan musim ini bukan hanya soal hasil di lapangan. Klub ini masih dibayangi oleh masalah finansial yang belum tuntas. Pemilik klub, Suning Group, beberapa kali dikabarkan ingin menjual klub karena tekanan utang dan kebutuhan modal operasional. Situasi ini mempengaruhi suasana internal tim dan manajemen.
Ketidakpastian masa depan klub membuat sejumlah pemain kunci mulai dilirik klub lain. Lautaro Martinez, misalnya, sempat dikaitkan dengan klub-klub Premier League. Rumor hengkangnya Simone Inzaghi juga makin kencang, terutama setelah kegagalan meraih trofi di akhir musim.
Dalam suasana seperti itu, kemenangan demi kemenangan menjadi tidak utuh. Mereka menjadi sekadar pengingat bahwa tim ini masih bisa bertarung, tapi tidak cukup kuat untuk menembus batas terakhir: juara.
Kebuntuan di Kompetisi Eropa
Inter Milan juga gagal memberikan kebanggaan di ajang Liga Champions. Setelah lolos dari fase grup dengan status runner-up, mereka terhenti di babak 16 besar setelah kalah agregat dari Arsenal. Kekalahan itu menyakitkan karena mereka tampil baik di leg pertama, namun gagal mempertahankan keunggulan.
Di ajang Coppa Italia, mereka juga tidak lebih beruntung. Inter Milan harus tersingkir di semifinal setelah kalah dramatis dari Lazio dalam dua leg. Musim yang di awal penuh harapan, berakhir dengan tangan kosong.
Baca Juga :
- Barcelona Suka Diaz, Liverpool Kagumi Yamal: Pertukaran Bintang atau Sekadar Saling Kagum?
- Akhir Era Emas: Modric, Kroos, dan Casemiro Tinggalkan Jejak Abadi di Real Madrid
Harapan yang Terlalu Besar
Setelah menjadi finalis Liga Champions musim 2022/2023 dan peraih Coppa Italia pada 2023/2024, ekspektasi terhadap Inter Milan musim ini memang sangat tinggi. Para fans dan media menganggap inilah saatnya Inter Milan mendominasi kembali Serie A, apalagi Juventus masih dalam masa transisi dan AC Milan inkonsisten.
Namun, harapan yang terlalu besar bisa menjadi beban. Simone Inzaghi terlihat frustrasi dalam beberapa pertandingan. Beberapa keputusan taktisnya dikritik karena terlalu konservatif, terutama dalam laga besar. Kritik juga diarahkan pada kurangnya rotasi di skuad, yang membuat beberapa pemain kelelahan di akhir musim.
Kemenangan Tanpa Makna: Laga Pamungkas yang Sunyi
Pertandingan terakhir musim ini mempertemukan Inter Milan dengan Torino. Mereka menang 3-0 dalam laga tersebut. Biasanya, kemenangan besar seperti ini akan disambut sorak sorai fans. Tapi di Giuseppe Meazza malam itu, suasananya muram. Tidak ada trofi yang diangkat. Tidak ada alasan untuk berpesta.
Pemain-pemain seperti Lautaro, Bastoni, dan Çalhanoğlu terlihat lesu meski menang. Beberapa bahkan tidak ikut selebrasi setelah gol. Kamera menangkap Inzaghi duduk termenung di bench setelah peluit akhir dibunyikan. Kemenangan malam itu adalah simbol tragis: mereka menang, tapi sudah terlambat.
Napoli: Simbol Luka yang Belum Sembuh
Yang memperparah rasa pahit adalah siapa yang menjadi juara—Napoli. Rival yang tidak memiliki kekuatan finansial sebesar Inter Milan. Tim yang mengandalkan perpaduan pemain muda, kerja keras, dan strategi taktis cerdas dari pelatih mereka, Rudi Garcia.
Melihat Napoli berpesta di jalanan Naples, mengangkat trofi dengan wajah bahagia, hanya menambah rasa kecewa bagi Interisti. Perbandingan pun tidak bisa di hindari: Napoli membangun tim dengan anggaran terbatas, namun semangat kolektif mereka membawa hasil yang lebih besar dari sekadar anggaran belanja pemain.
Inter Milan, dengan segala sumber daya dan kedalaman skuad, malah tertinggal di momen-momen penentu. Ini menjadi semacam “tamparan realitas” bahwa kualitas individu dan organisasi raksasa pun tak berarti jika tidak bisa menyatu dalam momen yang tepat.
Reaksi Suporter: Antara Frustrasi dan Cinta
Basis suporter Inter terkenal loyal, namun mereka juga menuntut. Sepanjang musim, stadion Giuseppe Meazza selalu di penuhi. Namun akhir musim ini, kekecewaan terlihat jelas. Spanduk-spanduk bertuliskan “Kami Butuh Gelar, Bukan Statistik” terpampang di tribun. Kritik tidak hanya di tujukan kepada pemain, tapi juga kepada manajemen klub yang di anggap lamban dalam mengambil keputusan strategis.
Namun di sisi lain, suporter juga tetap menunjukkan cinta mereka. Beberapa kelompok ultras tetap mendukung tim hingga akhir, bahkan mengadakan acara penghargaan simbolis untuk pemain seperti Barella dan Thuram. Mereka tahu, tim ini sudah berusaha—tapi itu belum cukup.
Pertanyaan besar kini menggantung di udara: Ke mana arah Inter Milan setelah ini? Apakah Simone Inzaghi akan di pertahankan? Apakah klub akan menjual bintang-bintang mereka? Apa manajemen akan kembali berinvestasi besar atau justru memotong anggaran?
Ada potensi perombakan besar di musim panas. Nama-nama seperti Thiago Motta, bahkan Roberto De Zerbi mulai di kaitkan sebagai calon pelatih baru. Inter tahu, kegagalan musim ini tak bisa di abaikan. Mereka harus memutus siklus nyaris juara dan membangun mentalitas pemenang yang konsisten.
Kemenangan Tak Selalu Bahagia
Inter Milan mungkin memenangkan banyak pertandingan musim ini. Tapi dalam sepak bola, bukan hanya jumlah kemenangan yang di hitung. Yang di ingat adalah siapa yang mengangkat trofi, siapa yang merayakan, dan siapa yang menulis sejarah.
Bagi Inter, musim ini menjadi pengingat pahit bahwa memenangkan pertandingan belum tentu berarti memenangkan musim. Bahwa dominasi statistik tak berarti apa-apa jika tidak di akhiri dengan kejayaan.
Dan itulah tragedi sesungguhnya dari Inter Milan musim ini: mereka bagus, tapi tidak cukup hebat. Mereka menang, tapi tidak jadi pemenang. Dan kemenangan seperti itu, tak bisa di rayakan.